Senin, 03 Oktober 2011

Jangan Salahkan Bajuku,Salah Pemerkosa PunyaNafsu dan Burung!!Jangan Salahkan Bajuku,Salah Pemerkosa PunyaNafsu dan Burung!!

Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan
terhadap Perempuan menilai kasus kekerasan
seksual pada wanita masih sangat tinggi.
Tercatat,sepertiga ada 295.836 total kasus
kekerasan terhadap perempuan adalah kasus
kekerasan seksual. Artinya setiap hari ada 28
perempuan menjadi korban kekerasan seksual di
Indonesia.
Demo bela rok mini yang dianggap sebagai
pemicu pemerkosaan beberapa waktu lalu di
benderan HI
Menurut Komnas Perempuan, berulangnya
kasus-kasus kekerasan seksual dalam transportasi
umum menunjukkan bahwa tidak ada jaminan
rasa aman bagi perempuan. “Penanganan dua
kasus terakhir merupakan petunjuk penting pada
keseriusan aparat penegak hukum dan pejabat
publik dalam menjalankan mandat konstitusi
untuk perlindungan dan jaminan rasa aman bagi
warga negaranya,” kata komisioner Komnas
Perempuan Neng Dara Affiah dalam siaran pers,
Minggu (25/9/2011).
Puluhan perempuan itu mengenakan rok mini
dan membawa poster bertuliskan “Jangan
salahkan baju kami. Hukum si pemerkosa”. “My
rok is my right” dan “Don’t tell us how to dress.
Tell them not to rape”. “Jangan salahkan rok mini
kami. Salahkan otaknya,” ujar salah seorang
orator Ucapan orator itu ditimpali oleh beberapa
perserta aksi. “Yang mini bukan rok kami tapi otak
kalian,” teriak peserta demo di Bundaran HI .
Kajian Komnas Perempuan mengenai kekerasan
seksual menunjukkan, persoalan penanganan
kasus kekerasan seksual bermuara pada belum
tersedianya payung hukum yang memadai serta
kapasitas penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya. Faktor budaya juga turut memperumit
penyelesaian kekerasan seksual. Budaya
penyangkalan, menyalahkan korban, dan konsep
aib akibat perempuan yang diperkosa dianggap
tidak lagi suci, telah menjauhkan perempuan
korban memperolah hak-haknya atas kebenaran,
keadilan dan pemulihan.
“Pernyataan yang menstigma perempuan korban
memprovokasi kekerasan dengan busana yang ia
kenakan, tidak saja telah menyakiti perempuan
korban dan keluarganya untuk kesekian kalinya,
serta semakin menyuburkan budaya yang
menyulitkan penyelesaikan kasus kekerasan
seksual, juga mengukuhkan diskriminasi terhadap
perempuan,” imbuh Neng Dara.
Demo aktifis perempuan, yang mengecam ulah
pemerkosa
Komnas Perempuan lalu mendesak para pihak
yang bertanggung jawab atas berlangsungnya
transportasi publik mengambil tindakan serius
dan tepat dalam memperbaiki sistem guna
menjamin rasa aman. “Serius dalam arti
perbaikan harus dilakukan secara komprehensif
dan sungguh-sungguh. Langkah kebijakan yang
tepat juga diperlukan agar tetap menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan berkontribusi pada
pembentukan kondisi yang kondusif bagi
penghapusan kekerasan terhadap perempuan,”
ungkap komisioner Komnas Perempuan Andy
Yentriyani.
Komnas Perempuan mendukung usulan sistem
identifikasi pengemudi perlu diadopsi dengan
membentuk mekanisme sanksi pada pihak
pengusaha yang tidak taat dalam memastikan
terselenggaranya sistem tersebut. Perbaikan
infrastuktur juga perlu meliputi tersedianya
penerangan yang memadai di tempat tunggu dan
jalan, patroli dan kesiapsiagaan petugas
keamanan di titik-titik rawan, serta sarana
transportasi yang memadai sehingga
penumpang tidak perlu berdesak-desakan dan
membuka peluang terjadinya pelecehan seksual.
“Dalam kerangka memikirkan kebijakan yang
tepat, kebijakan gerbong khusus misalnya harus
segera ditinjau ulang.
Memberikan rasa aman bagi perempuan perlu
dilakukan tanpa membagi ruang publik antara
laki-laki dan perempuan. Pembagian ruang publik
ini justru akan mengukuhkan budaya
menyalahkan korban kekerasan seksual,” ungkap
Andy. Ia juga menyoroti pernyataan pihak
kepolisian tentang kesulitan mereka untuk
mencari jejak pelaku perkosaan yang justru
dengan gampang ditemukan oleh korban.
“Pernyataan ini justru meneguhkan prasangka
dalam masyarakat tentang ketidakseriusan jajaran
kepolisian atas upaya penegakan hukum,”
tegasnya.
Komnas Perempuan juga mendorong peran aktif
media dalam membantu penyelesaian kasus-
kasus kekerasan seksual. Hasil analisa Komnas
Perempuan terhadap 8 media cetak sepanjang
tahun 2010 menunjukkan 50 persen media telah
memenuhi etika jurnalistik dan hak korban dalam
pemberitaannya tentang kekerasan seksual
terhadap perempuan.
“Dengan pemenuhan etika jurnalistik dan hak
korban, liputan aktif media atas peristiwa dan
penanganan kasus sangat penting untuk
membangun pemahaman publik tentang
kekerasan seksual, dan mendorong aparat dan
pejabat publik dalam menghadirkan jaminan
perlindungan dan rasa aman di ruang publik serta
dalam memenuhi hak-hak korban,” pungkas
Andy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar